Rabu, 26 Juli 2017

Senja, Sunyi, Semesta

Senja.
Aku bertemu dengannya di akhir bulan Mei 2015. Masih teringat jelas di ingatanku bagaimana kita berbincang untuk pertama kalinya. Tak pernah ku kira akan sejauh ini kita berteman. Perempuan Indonesia bertemu dengan laki laki Mesir yang tinggal di Amerika. Walaupun aku yang selalu pergi karna tak ingin perasaan ini semakin berkembang. Kedatanganmu selalu seperti senja, indah walau hanya sesaat. Kedatanganmu selalu menjadi hal yang membahagiakan walau aku ingin kita menjalani hidup dengan jalan masing masing. Kedatangamu selalu tiba tiba dan tak bisa diperkirakan. Tak pernah berhenti aku ucapkan terima kasih untuk semuanya yang telah terjadi selama 2 tahun terakhir. Kau akan selalu ku kenang sebagai senja yang meronah indah di ufuk  barat.

Sunyi.
Kau anugerah terindah yang pernah kumiliki. Sahabat yang selalu menemani sampai larut malam. Berbagi informasi dari negrimu yang penuh dengan padang pasir. Aku tak pernah lelah mendengar cerita tentang harimu dan kuliahmu yang melelahkan. Ah aku rindu dengan kisah perjalanan malammu, berpindah kota hanya untuk menikmati kesunyian. Jika sudah berbicara denganmu, waktu seakan akan berhenti. Rasanya baru beberapa menit tapi ternyata sudah beberapa jam kita berbagi kisah satu sama lain. Namamu selalu kuhantarkan ke angkasa bersamaan dengan harapan harapanku. Kau tau kenapa kunamai sunyi? Karna kau lah sunyiku. Kau lah malamku. Seseorang yang selalu kusanjung. Kau selalu mengingatkanku pada kebaikan. Kita punya tujuan yang sama. Jika memang pada akhirnya kita tak ditakdirkan bersama. Tetaplah menjadi temanku, tetaplah menjadi sunyiku yang sama sama berjuang dengan jalan masing masing.

Semesta

Entah siapa yang kumaksud dengan semesta. Semesta punya arti yang luas dan beragam tapi jika disandingkan dengan senja dan sunyi. Semesta berarti seseorang yang akan mendampingi hidup perempuan ini sampai akhir hayat. Walaupun sebesar apapun perasaan diri ini pada senja dan sunyi tapi kesempatan untuk menghabiskan sisa hidup dengan mereka sangatlah rendah. Terlalu banyak perbedaan dan angan. Jadi siapapun yang akan menjadi semestaku, aku selalu merindukanmu setiap malam.

Selasa, 21 Maret 2017

Senja

Di tengah rintikan hujan ini
Aku hantarkan keinginan terbesarku, mampu mengikhlaskanmu pergi.
Aku harap hari ini hari terakhir perasaan ini ada.
Aku harap esok pagi ketika aku terbangun (kalaupun semesta masih memberiku kesempatan untuk mengenal dunia esok hari) aku sudah mampu mengikhlaskanmu pergi.

Terima kasih telah memberikan kenangan di raga yang kosong ini.
Terima kasih telah menemaniku selama kurang lebih 2 tahun ini.
Terima kasih telah menjadi sahabat malamku walaupun di belahan bumi bagianmu tinggal, matahari sudah menampakkan sinarnya.

Semua ini salahku.
Terlalu berharap kita adalah satu yang terpisah.
Terlalu berharap kita akan bertemu di dunia nyata suatu hari nanti.
Terlalu berharap kau dan aku akan selalu bersama di dunia dan akhirat.


Untukmu yang namanya selalu hampir kusebut di setiap sujudku.
Baik baik disana, di negri adidaya.
Di negri yang penuh dengan berbagai ras, agama dan suku.
Kau beruntung bisa melanjutkan pendidikanmu disana.
Jangan kecewakan orang tuamu walau mereka sudah tak tinggal bersama.
Salam untuk adikmu yang paling menawan.
Ahh lagipula kau tak akan mengerti apa yang kuucapkan kali ini.
Tapi aku harap semesta mampu membantuku memberikan salam terakhir untukmu.
Kau akan selalu terkenang dengan cara yang indah.
Selamat jalan dan semoga kau mendapatkan yang terbaik.


Senjaku yang paling indah.

Minggu, 05 Februari 2017

Lagi dan lagi

Kamu mengacaukan hariku (lagi).
Entah untuk yang keberapa kalinya.
Dan payahnya aku selalu membuka pintu itu.
Menghancurkan tembok yang sudah kubangun beberapa bulan ini.
Aku benar benar jatuh ke dalam lubang yang tak pernah ada dasarnya.

Tak terhitung berapa kali aku menyampaikan benakku.
Jangan pernah datang kembali jika pada akhirnya pergi.
Karena entah sampai kapan, aku akan tetap membuka pintu itu. apapun yang terjadi.
Ya aku paham bahwa apa yang aku lakukan itu salah.
Tak seharusnya aku melakukan itu.
Tak seharusnya aku memperlakukanmu seperti malam yang selalu aku sanjung.
Jika boleh meminta satu hal pada semesta, aku berharap perasaan ini tak pernah ada. 
Berharap hidupku baik baik saja seperti sebelum bertemu denganmu.
Aku harus berjuang melawan semua ini, melawan arus perasaan yang tak pernah berhenti.