“hai aku aiyana”
“aku
ardi”
Itulah
awal dari semuanya. Aku masih ingat kejadian hari itu, 7 July 2008. Hari terbaik
sepanjang hidupku. Mungkin hanya aku yang merasakannya dan mungkin itulah terakhir
kalinya aku bahagia. Ya 8 tahun yang lalu. Sejak saat itu aku tak pernah
merasakan kebahagiaan lagi, seolah olah perasaan itu hilang bersama dengan
kepergiannya. Aku tak mengerti dengan perasaanku sendiri padahal usia kami
terpaut 4 tahun, aku bertemu dengannya ketika ia berumur 15 tahun dan aku masih
duduk di kelas 6 SD. Apa yang ada dipikiranku saat itu?
“ai
mau ikut ke tasik ngga?” suara azha membuyarkan lamunanku
“kapan?
Dibayarin kan az haha” jawabku seraya tertawa
“Besok.
Iya gampang nanti bawa mobil” jawabnya santai
Tasikmalaya.
Sebuah kota di jawa barat yang sangat indah, aku pernah menjelajahi kota itu
walau hanya sehari. Aku punya kebiasaan aneh, mungkin orang lain akan
memanggilku si tukang jalan. Jika ada yang mengajakku pergi, aku akan dengan
senang hati ikut bersamanya dan orang lain pasti akan berfikir “mumpung gratis
ikut saja” tapi alasan utamaku bukan tentang kemana aku akan pergi tetapi
ketika sedang diperjalanan. Aku suka sekali melihat jalanan, memperhatikan
orang sekitar, melihat hal baru dan yang paling utama adalah aku selalu berharap
bisa bertemu dengannya. Itulah penyebab utama mengapa aku selalu suka diajak
pergi. Harapan yang sulit tercapai memang, walaupun aku tau dia tidak tinggal
di jakarta lagi tapi entah kenapa aku hanya punya harapan itu. Berharap itu
tidak mengapa kan selama tidak merugikan orang lain?
Satu
tahun lalu ketika aku punya kesempatan yang lebih besar untuk bertemu dengannya
tiba tiba nyaliku menghilang. Aku yang biasanya duduk disamping jendela tiba
tiba memilih bangku paling belakang. Aku yang biasanya memperhatikan jalanan
tiba tiba hanya diam menunggu tujuan yang tak kunjung sampai. Aku yang biasanya
tak ingin cepat cepat tiba di tujuan tiba tiba ingin segera sampai. Apa yang
membuatku seperti ini? Aku benci diriku saat itu. Aku bisa saja memperhatikan
jalanan dan melihatnya sedang menyebrang jalan atau sedang membeli sesuatu di
pinggir jalan. Tapi aku menolaknya, aku takut. Aku takut kecewa dia tak seperti
apa yang aku harapkan. Aku takut akan kenyataan bahwa aku akan bertemu
dengannya. Aneh memang, aku sangat ingin bertemu dengannya tapi aku tak tau apa
yang harus aku lakukan ketika berhadapan dengannya. Apakah harus memeluknya? Ah
tidak, dia laki laki dan aku perempuan. Apakah aku harus diam? Tidak juga.
Apakah aku harus menceritakan semuanya? Mungkin.
Malam
hari sebelum berangkat aku sudah mempersiapkan semuanya dari baju, perlengkapan
mandi, dan buku. 3 hal terpenting yang selalu aku bawa ketika pergi. Buku?
Apakah tidak salah? Tentu tidak. Bagiku buku sangatlah penting, ketika mataku
sudah lelah mencari sosoknya di sepanjang jalan, hanya buku yang dapat
menghiburku. Hanya dengan membaca buku aku bisa berpetualang ke tempat yang blm
pernah aku kunjungi. Banyak hal terjadi ketika aku membaca buku. Seolah olah
dunia yang aku tinggali ini hanya khayalan dan dunia yang ada di dalam buku
adalah kenyataannya.
Tepat
pukul 11 malam aku selesai membaca Rembulan tenggelam di wajahmu karya Tere
Liye. Aku segera pergi menuju kamar mandi dan mengambil wudhu, sudah
kebiasaanku sejak kecil sebelum tidur aku harus berwudhu. Setelah itu aku
segera menarik selimut yang bertema Spongebob dan mencoba untuk tidur.
10 menit berlalu mataku masih
terjaga.
30 menit berlalu aku masih
memikirkan sesuatu.
1 jam berlalu tiba tiba perasaanku
diliputi perasaan bahagia yang tak bisa dibendung lagi.
Aku
bahagia karna aku punya kesempatan untuk bertemu dengannya. Aku akan bertemu
dengan teman masa kecilku jika diizinkan semesta. Aku akan bertemu dengan
seseorang yang selalu aku doakan selama kurang lebih 8 tahun. Siapa yang tidak
bahagia ketika akan bertemu dengan seseorang yang selalu ia dambakan di setiap
malam atau di setiap sujudnya? Tapi tiba tiba pertanyaan itu muncul dan
perasaan bahagia itu sirna di telan bumi.
Apakah ia masih ada disana?
Aku
harus tetap positive thinking. Aku harus yakin kalau ia ada disana. Aku harus
kuat untuk menerima segala kenyataan yang akan terjadi. Ada atau tidak ada
dirinya, aku akan tetap liburan ke tasikmalaya esok hari.
-----
“kamu
kenapa ada disini?” tanyaku kaget
Seorang
laki laki berperawakan tinggi, berjerawat tetapi tidak banyak, dan memakai baju
bertuliskan “Everything is going to be okay” itu ada dihadapanku sekarang.
Walaupun mukanya sedikit berubah tapi aku masih bisa mengenalinya.
“aku
ingin bertemu denganmu” jawabnya sambil mencubit kedua pipiku
Cubitan itu mengingatkan ku kepada
hari itu. Kepada kenangan 8 tahun yang lalu.
“apa
kau tau berapa lama aku menunggumu?” tanyaku seraya menahan air mata yang ingin
jatuh
“aku
tak pernah memintamu untuk menungguku. Lagipula aku hanya ingin mengembalikan
ini” jawabnya santai sambil memberikan gantungan kunci bertuliskan namanya.
Dia
benar. Dia tak pernah memintaku untuk menunggunya selama ini. Siapakah aku
dibenaknya? Hanya anak perempuan ingusan yang hilang arah.
“loh
mengapa gantungan ini kau kembalikan? Kau tak suka ya?” aku berusaha untuk baik
baik saja dihadapannya
“bukannya
aku tak suka. Tapi lebih baik kau simpan saja untuk dirimu” jawabnya
“tapi
kenapa” tanyaku heran
“ssst
tak usah tanya kenapa. Sekarang sudah saatnya kau lupakan aku. Lupakan semua
kenangan itu”
Bagaimana
dia tau tentang kenangan itu? Ini semua tidak masuk akal. Aku bahkan tak tau
ada dimana sekarang dan bagaimana aku bisa disini.
Tunggu.
Ini
semua hanya bunga tidur. Dia tidak
nyata. Dia tak pernah tau bahwa ada seorang perempuan yang menunggunya selama
ini. Dia tak pernah tau bahwa perempuan itu aku.
-----
Gelap. Hening. Sepi.
Aku
tak bisa melihat apapun. Apa aku sudah ada di dimensi lain? Seperti apa yang
selalu aku harapkan? Atau aku sudah tidak bisa melihat dunia lagi? Ketakutan
mulai menghantuiku saat ini. Jika memang benar, aku belum siap. Aku ingin
melihat wajahnya untuk yang terakhir kali.
Tunggu.
Tadi aku baru saja bermimpi bertemu dengannya. Apakah aku bermimpi (lagi) saat
ini? Tanpa pikir panjang aku mencubit tangan kiriku.
Sakit.
Ini
nyata. Legenda bilang kalau kau ingin mengetahui apakah kau bermimpi atau
tidak, pukul atau cubitlah bagian tubuhmu. Jika terasa sakit, kau ada di dunia
nyata. Jika tidak, kau sudah pasti bermimpi.
“mah
pah kenapa semuanya gelap? Ai ngga bisa liat apa apa” tanyaku sambil menangis
ketakutan
“mati
lampu sayang. Kamu kenapa nangis?” tanyanya heran
“ai
kira ai ga bisa liat dunia ini lagi”
“sudah
sudah. Ai tidur lagi saja, besok kan mau pergi. Isi tenaga dulu” jawab ibuku menenangkan.
-----
Mentari
pagi mulai menyinari indonesia bagian barat terutama ibukota yang masih sepi
dan sunyi dari keramaian. Aku masih terjaga sejak aku bangun di tengah malam
yang sunyi, bukannya aku tidak ingin tidur tapi pikiranku melayang menuju angan
tak terbatas. Kenangan kenangan itu muncul kembali di pikiranku bagaikan memori
inti yang selalu kukenang. Tak terasa sudah pukul 5 pagi. Aku segera turun
kebawah, mengambil wudhu dan melaksanakan sholat fardhu 2 raka’at. Setelah itu
aku mampir ke kamar orang tuaku, mereka
masih terlelap. Wajah mereka terlihat begitu tenang dan bahagia. Tiba
tiba air mataku jatuh begitu saja, aku takut mereka tidak akan bangun lagi. Aku
takut belum sempat membuat mereka bangga kepadaku. Suatu hari ibuku pernah
bilang bahwa dia sangat bangga kepadaku. Aku tanya kepadanya kenapa lalu dia
hanya menjawab
“diumur
yang sangat belia ini kau sudah belajar bekerja, mencari nafkah untuk dirimu
sendiri dan keluarga. Ibu bangga padamu nak”
Ya
setelah aku lulus smk aku langsung melamar kerja di sebuah perusahaan swasta di
bidang perdagangan. Walaupun gaji ku blm seberapa tapi ibuku sangat bangga akan
hal itu. Memang sudah kebiasaan di keluargaku, setelah lulus sekolah menengah
atas atau kejuruan langsung bekerja dan melanjutkan ke perguruan tinggi jika
tabungannya sudah cukup. Maklum kami bukan dari keluarga yang berada tapi
Alhamdulillah keluarga kami keluarga yang cukup.
“nananana nanana”
Suara
intro lagu Fly Away by 5 Seconds of summer terdengar jelas dirumahku. Untuk
sesaat aku terdiam dan mendengarkan tetapi lama kelamaan aku semakin sadar
bahwa itu ternyata ringtone handphoneku yang berarti ada panggilan masuk. 5
detik aku mencari asal muasal suara tersebut akhirnya aku menemukannya.
Tertulis nama “azha”
“ai
maaf ya kayaknya kita ngga jadi ke tasik, mobilnya mau dipake ayah untuk acara
pengajian” suaranya terdengar tertekan
“umm
oh yaudah gapapa kok az” jawabku menenangkan
“beneran
ai? Maaf banget ya. Nanti kalo acaranya cepat selesai, az jemput ya kerumah”
“liat
nanti aja az. Gapapa kok sebenernya mah”
Aku yang pertama meng klik tombol
“end call”
Aku
terdiam untuk sesaat. Menenangkan diri dari kekecawaan, ini bukan salah azha,
bukan salah ayahnya bukan salah siapapun. Ini salahku karena terlalu berharap
pada angan. Aku terlalu percaya diri akan bertemu dengannya hari ini. Semesta
belum bisa menepati janjinya hari ini.
Aku
memilih untuk melanjutkan mimpiku, berharap akan bertemu dengannya lagi walau
hanya sebatas bunga tidur. Setidaknya aku bisa bertemu dengannya disana, tidak
peduli nyata atau tidak.
-----
“sudah
kubilang jangan menungguku dan lupakan aku!” laki laki itu membentakku dengan
keras
Air
mataku jatuh tanpa kusadari, turun mengikuti gravitasi bumi.
“berhenti
menangis, aku tak pantas mendapatkan semua pengorbanan yang telah kau lakukan
ai” jawabnya lebih tenang
“aku
tak pernah berkorban untukmu, aku bahkan tak tau mengapa takdir memilihmu untuk
menjadi seseorang yang sangat berarti di kehidupanku” jawabku seraya air mata
mengalir di pipi
Hangat.
Nyaman. Tentram.
5 menit yang sangat indah semasa
hidupku.
Dia memelukku.
“maaf
bukan bermaksud lancang, aku hanya ingin menghentikan tangisanmu. Dengarkan
aku, sebaiknya lupakan aku saja. Aku tak bisa menjadi pendamping hidupmu”
jawabnya santai
“jika
ragamu tak bisa menemani hari hariku. Apakah jiwamu bersedia melakukannya? Aku
hanya ingin ada seseorang yang menemani hari hariku. Tak peduli dia nyata atau
tidak. Aku hanya tak ingin sendiri di” lagi lagi air mata mengalir deras di
pipiku
“aku
akan berusaha sebaik mungkin untuk tetap menemanimu selamanya ai. Nah sekarang
aku harus pergi. Kamu juga harus pergi kan untuk menemui seseorang yang sangat
berarti di dalam hidupmu” tanyanya meyakinkan lalu pergi menuju awan
---
“ai
bangun, ada azha” suara ibuku membuatku terjaga dari tidur yang indah itu
Ada
apa azha kerumahku? Satu pertanyaan yang terlintas di pikiranku ketika
mendengar nama azha.
“ai
cepetan. Katanya mau ke tasik, azha udah dateng nih” lagi lagi suaranya yang
nyaring terdengar di kamarku yg berada di loteng
Tasik?
Ardi?
Tanpa
pikir panjang aku turun kebawah.
“ayo
az berangkat sekarang” jawabku semangat
Azha,
roffa dan ibuku saling bertatapan.
Untuk
sejenak apa yang salah dari kata kataku? Bukankah sesuatu itu lebih baik jika
disegerakan. Seperti tugas dan pernikahan. Jika kau sudah siap, apa yang kau
tunggu lagi untuk menikah? Harta? Tak usah kau pikirkan, yang terpenting kau
sudah punya pekerjaan tetap. Jika kau laki laki, segeralah datang kerumah
perempuan yang kau idamkan dan temuilah orang tuanya. Itu arti sesungguhnya
dari kata romantis dalam kamus hidupku, bukan memberikan bunga ataupun yang
lainnya
.
Azha
tak bisa menahan tawanya. Roffa pun sama. Hanya ibuku yang tersenyum.
“kok
pada ketawa. Kenapa? Ada yang salah dari kalimatku?” tanyaku heran
“tidak
ada yang salah ai dari kalimatmu. Tapi apa kamu yakin ingin pergi ke tasik
dengan pakaian seperti itu?” tanya roffa seraya menahan tawa
Aku
melihat kebawah dan yeah aku baru sadar alasan mereka tertawa. Aku masih
memakai pakaian tidur. Malu rasanya, tapi kuharap mereka tak menyadari betapa
excited nya diriku.
Aku
hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk bersiap siap. Waktu yang lumayan singkat
kan untuk seorang perempuan? Biasanya mereka membutuhkan waktu 30 menit lebih
untuk mempercantik diri.
“nah
gini dong rapi, ngga kaya tadi haha” suara azha terdengar ketika aku keluar
dari kamar
“yuk
ah berangkat sekarang ai” sekarang roffa yang bicara
Azha
yang mengendarai mobil. Sedangkan roffa duduk disampingnya, dan aku duduk
sendiri di belakang tak sabar ingin segera sampai.
Tak
banyak yang kulakukan sepanjang perjalanan. Hanya tersemyum dan membayangkan
apa yang akan aku lakukan ketika bertemu dengan “dia sekala semesta” ku. Ya dia
setara dengan alam semesta ini. Mungkin banyak orang yang bilang aku sedikit
berlebihan, baru bertemu selama kurang lebih satu minggu tetapi sudah
menganggapnya setara dengan semesta. Aku pun tak tau alasannya tetapi dia benar
benar setara dengan alam semesta yang tak terhingga ini.
Langit
tampak sangat cerah sama seperti perasaanku saat ini. Ahh terkadang langit
memang bisa membaca perasaanku.
Tak
terasa 5 jam berlalu dengan cepat. Entah apa yang membuat waktu berlari secepat
itu. Tulisan “selamat datang di Tasikmalaya” terlihat jelas olehku. Tapi tiba
tiba perasaan itu muncul kembali. Pikiran mengerikan itu mulai berkeliaran di benakku tak terkendali.
Aku
takut dia telah melupakanku.
Aku
takut dia menganggapku orang yang aneh.
Aku
takut dia tak pernah mengingatku sama sekali.
Nyaliku
tiba tiba menghilang begitu saja. Pertanyaan pertanyaan itu memaksa untuk
dijawab. Aku tak mampu menahan semuanya. Terlalu mengerikan. Langit pun berubah
menjadi gelap, seakan akan mengerti tentang ketakutanku. Goresan putih panjang
berkilap terlihat melalui kaca jendela mobil. Selang beberapa detik kemudian
suara gelegar itu terdengar kencang. Daun daun pepohonan menari nari mengikuti
irama langit. Aku bisa merasakan betapa dahsyatnya angin diluar sana.
“ih
aneh ya beberapa menit yang lalu langit cerah tetapi sekarang berubah menjadi
menyeramkan” suara roffa memecahkan keheningan
“iya
aneh sama kayak ai. Tadi senyum senyum mulu sekarang jadi murung” jawab azha
“ai
lagi kenapa sih? Jangan jangan langit sama ai punya kekuatan batin. Bisa
merasakan perasaan satu sama lain” tanya roffa penasaran
“ai
gapapa kok. Ai mau tidur dulu ya” jawabku tak semangat
Roffa
dan azha saling bertatapan bingung.
---
“kamu.
Iya kamu. Kemari” suara itu terdengar dekat
Aku menoleh kebelakang dan melihat sosoknya sedang
berdiri tersenyum menawan. Ah laki laki itu lagi. Tanpa berpikir lama aku
segera menghampirinya. 5 menit. 20 menit. 45 menit. 1 jam. Aku tak bisa
mendekatinya, seolah olah semakin aku mendekat ia semakin menjauh.
“apa
yang sedang terjadi? Saat aku mendekat mengapa kau semakin menjauh?” tanyaku
penasaran.
“ada
jarak yang memisahkan kita” jawabnya seraya menunjuk jarak diantara aku dan dia.
“mengapa?
Bukankah dekat lebih memberikan kenyamanan?” pertanyaanku semakin serius.
“karna
Allah telah ciptakan rindu, untuk mengisi ruang itu. Walaupun terpisah lebih
dari 1.000 mile, tak ada yang lebih dekat melebihi dua hati yang saling
mendoakan meskipun disekat samudra dan benua” jawabnya santai
Aku merasakan
air mata mengalir di pipiku. Belum pernah ada laki laki yang mengatakan hal
seperti itu kepadaku.
Walaupun
ada jarak yang membentang diantara aku dan dia, tapi aku masih mampu melihat
dengan jelas senyumannya yang menyejukan hati. Membawa kedamaian tiada tara.
“hey
hentikan tangisanmu. Bangunlah sekarang. Sudah saatnya semesta menepati
janjinya”
Semesta? Janji apa yang dia maksud?
To be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar