Jumat, 05 Agustus 2016

A13


            “hai aku aiyana”

“aku ardi”

Itulah awal dari semuanya. Aku masih ingat kejadian hari itu, 7 July 2008. Hari terbaik sepanjang hidupku. Mungkin hanya aku yang merasakannya dan mungkin itulah terakhir kalinya aku bahagia. Ya 8 tahun yang lalu. Sejak saat itu aku tak pernah merasakan kebahagiaan lagi, seolah olah perasaan itu hilang bersama dengan kepergiannya. Aku tak mengerti dengan perasaanku sendiri padahal usia kami terpaut 4 tahun, aku bertemu dengannya ketika ia berumur 15 tahun dan aku masih duduk di kelas 6 SD. Apa yang ada dipikiranku saat itu?

            “ai mau ikut ke tasik ngga?” suara azha membuyarkan lamunanku

            “kapan? Dibayarin kan az haha” jawabku seraya tertawa

            “Besok. Iya gampang nanti bawa mobil” jawabnya santai

            Tasikmalaya. Sebuah kota di jawa barat yang sangat indah, aku pernah menjelajahi kota itu walau hanya sehari. Aku punya kebiasaan aneh, mungkin orang lain akan memanggilku si tukang jalan. Jika ada yang mengajakku pergi, aku akan dengan senang hati ikut bersamanya dan orang lain pasti akan berfikir “mumpung gratis ikut saja” tapi alasan utamaku bukan tentang kemana aku akan pergi tetapi ketika sedang diperjalanan. Aku suka sekali melihat jalanan, memperhatikan orang sekitar, melihat hal baru dan yang paling utama adalah aku selalu berharap bisa bertemu dengannya. Itulah penyebab utama mengapa aku selalu suka diajak pergi. Harapan yang sulit tercapai memang, walaupun aku tau dia tidak tinggal di jakarta lagi tapi entah kenapa aku hanya punya harapan itu. Berharap itu tidak mengapa kan selama tidak merugikan orang lain?

Satu tahun lalu ketika aku punya kesempatan yang lebih besar untuk bertemu dengannya tiba tiba nyaliku menghilang. Aku yang biasanya duduk disamping jendela tiba tiba memilih bangku paling belakang. Aku yang biasanya memperhatikan jalanan tiba tiba hanya diam menunggu tujuan yang tak kunjung sampai. Aku yang biasanya tak ingin cepat cepat tiba di tujuan tiba tiba ingin segera sampai. Apa yang membuatku seperti ini? Aku benci diriku saat itu. Aku bisa saja memperhatikan jalanan dan melihatnya sedang menyebrang jalan atau sedang membeli sesuatu di pinggir jalan. Tapi aku menolaknya, aku takut. Aku takut kecewa dia tak seperti apa yang aku harapkan. Aku takut akan kenyataan bahwa aku akan bertemu dengannya. Aneh memang, aku sangat ingin bertemu dengannya tapi aku tak tau apa yang harus aku lakukan ketika berhadapan dengannya. Apakah harus memeluknya? Ah tidak, dia laki laki dan aku perempuan. Apakah aku harus diam? Tidak juga. Apakah aku harus menceritakan semuanya? Mungkin.

Malam hari sebelum berangkat aku sudah mempersiapkan semuanya dari baju, perlengkapan mandi, dan buku. 3 hal terpenting yang selalu aku bawa ketika pergi. Buku? Apakah tidak salah? Tentu tidak. Bagiku buku sangatlah penting, ketika mataku sudah lelah mencari sosoknya di sepanjang jalan, hanya buku yang dapat menghiburku. Hanya dengan membaca buku aku bisa berpetualang ke tempat yang blm pernah aku kunjungi. Banyak hal terjadi ketika aku membaca buku. Seolah olah dunia yang aku tinggali ini hanya khayalan dan dunia yang ada di dalam buku adalah kenyataannya.

Tepat pukul 11 malam aku selesai membaca Rembulan tenggelam di wajahmu karya Tere Liye. Aku segera pergi menuju kamar mandi dan mengambil wudhu, sudah kebiasaanku sejak kecil sebelum tidur aku harus berwudhu. Setelah itu aku segera menarik selimut yang bertema Spongebob dan mencoba untuk tidur.

10 menit berlalu mataku masih terjaga.

30 menit berlalu aku masih memikirkan sesuatu.

1 jam berlalu tiba tiba perasaanku diliputi perasaan bahagia yang tak bisa dibendung lagi.

Aku bahagia karna aku punya kesempatan untuk bertemu dengannya. Aku akan bertemu dengan teman masa kecilku jika diizinkan semesta. Aku akan bertemu dengan seseorang yang selalu aku doakan selama kurang lebih 8 tahun. Siapa yang tidak bahagia ketika akan bertemu dengan seseorang yang selalu ia dambakan di setiap malam atau di setiap sujudnya? Tapi tiba tiba pertanyaan itu muncul dan perasaan bahagia itu sirna di telan bumi.

            Apakah ia masih ada disana?

Aku harus tetap positive thinking. Aku harus yakin kalau ia ada disana. Aku harus kuat untuk menerima segala kenyataan yang akan terjadi. Ada atau tidak ada dirinya, aku akan tetap liburan ke tasikmalaya esok hari.
-----
“kamu kenapa ada disini?” tanyaku kaget

Seorang laki laki berperawakan tinggi, berjerawat tetapi tidak banyak, dan memakai baju bertuliskan “Everything is going to be okay” itu ada dihadapanku sekarang. Walaupun mukanya sedikit berubah tapi aku masih bisa mengenalinya.

“aku ingin bertemu denganmu” jawabnya sambil mencubit kedua pipiku

Cubitan itu mengingatkan ku kepada hari itu. Kepada kenangan 8 tahun yang lalu.

“apa kau tau berapa lama aku menunggumu?” tanyaku seraya menahan air mata yang ingin jatuh 

“aku tak pernah memintamu untuk menungguku. Lagipula aku hanya ingin mengembalikan ini” jawabnya santai sambil memberikan gantungan kunci bertuliskan namanya.

Dia benar. Dia tak pernah memintaku untuk menunggunya selama ini. Siapakah aku dibenaknya? Hanya anak perempuan ingusan yang hilang arah.

“loh mengapa gantungan ini kau kembalikan? Kau tak suka ya?” aku berusaha untuk baik baik saja dihadapannya

“bukannya aku tak suka. Tapi lebih baik kau simpan saja untuk dirimu” jawabnya

“tapi kenapa” tanyaku heran

“ssst tak usah tanya kenapa. Sekarang sudah saatnya kau lupakan aku. Lupakan semua kenangan itu”


Bagaimana dia tau tentang kenangan itu? Ini semua tidak masuk akal. Aku bahkan tak tau ada dimana sekarang dan bagaimana aku bisa disini.

            Tunggu.

            Ini semua hanya bunga tidur.  Dia tidak nyata. Dia tak pernah tau bahwa ada seorang perempuan yang menunggunya selama ini. Dia tak pernah tau bahwa perempuan itu aku.
-----
            Gelap. Hening. Sepi.

Aku tak bisa melihat apapun. Apa aku sudah ada di dimensi lain? Seperti apa yang selalu aku harapkan? Atau aku sudah tidak bisa melihat dunia lagi? Ketakutan mulai menghantuiku saat ini. Jika memang benar, aku belum siap. Aku ingin melihat wajahnya untuk yang terakhir kali.

Tunggu. Tadi aku baru saja bermimpi bertemu dengannya. Apakah aku bermimpi (lagi) saat ini? Tanpa pikir panjang aku mencubit tangan kiriku.

Sakit.

Ini nyata. Legenda bilang kalau kau ingin mengetahui apakah kau bermimpi atau tidak, pukul atau cubitlah bagian tubuhmu. Jika terasa sakit, kau ada di dunia nyata. Jika tidak, kau sudah pasti bermimpi.

“mah pah kenapa semuanya gelap? Ai ngga bisa liat apa apa” tanyaku sambil menangis ketakutan

“mati lampu sayang. Kamu kenapa nangis?” tanyanya heran

“ai kira ai ga bisa liat dunia ini lagi”

“sudah sudah. Ai tidur lagi saja, besok kan mau pergi. Isi tenaga dulu”  jawab ibuku menenangkan.

-----


Mentari pagi mulai menyinari indonesia bagian barat terutama ibukota yang masih sepi dan sunyi dari keramaian. Aku masih terjaga sejak aku bangun di tengah malam yang sunyi, bukannya aku tidak ingin tidur tapi pikiranku melayang menuju angan tak terbatas. Kenangan kenangan itu muncul kembali di pikiranku bagaikan memori inti yang selalu kukenang. Tak terasa sudah pukul 5 pagi. Aku segera turun kebawah, mengambil wudhu dan melaksanakan sholat fardhu 2 raka’at. Setelah itu aku mampir ke kamar orang tuaku, mereka  masih terlelap. Wajah mereka terlihat begitu tenang dan bahagia. Tiba tiba air mataku jatuh begitu saja, aku takut mereka tidak akan bangun lagi. Aku takut belum sempat membuat mereka bangga kepadaku. Suatu hari ibuku pernah bilang bahwa dia sangat bangga kepadaku. Aku tanya kepadanya kenapa lalu dia hanya menjawab

“diumur yang sangat belia ini kau sudah belajar bekerja, mencari nafkah untuk dirimu sendiri dan keluarga. Ibu bangga padamu nak”

Ya setelah aku lulus smk aku langsung melamar kerja di sebuah perusahaan swasta di bidang perdagangan. Walaupun gaji ku blm seberapa tapi ibuku sangat bangga akan hal itu. Memang sudah kebiasaan di keluargaku, setelah lulus sekolah menengah atas atau kejuruan langsung bekerja dan melanjutkan ke perguruan tinggi jika tabungannya sudah cukup. Maklum kami bukan dari keluarga yang berada tapi Alhamdulillah keluarga kami keluarga yang cukup.

“nananana nanana”

Suara intro lagu Fly Away by 5 Seconds of summer terdengar jelas dirumahku. Untuk sesaat aku terdiam dan mendengarkan tetapi lama kelamaan aku semakin sadar bahwa itu ternyata ringtone handphoneku yang berarti ada panggilan masuk. 5 detik aku mencari asal muasal suara tersebut  akhirnya aku menemukannya.

Tertulis nama “azha”

“ai maaf ya kayaknya kita ngga jadi ke tasik, mobilnya mau dipake ayah untuk acara pengajian” suaranya terdengar tertekan

“umm oh yaudah gapapa kok az” jawabku menenangkan

“beneran ai? Maaf banget ya. Nanti kalo acaranya cepat selesai, az jemput ya kerumah”

“liat nanti aja az. Gapapa kok sebenernya mah”

Aku yang pertama meng klik tombol “end call”

Aku terdiam untuk sesaat. Menenangkan diri dari kekecawaan, ini bukan salah azha, bukan salah ayahnya bukan salah siapapun. Ini salahku karena terlalu berharap pada angan. Aku terlalu percaya diri akan bertemu dengannya hari ini. Semesta belum bisa menepati janjinya hari ini.

Aku memilih untuk melanjutkan mimpiku, berharap akan bertemu dengannya lagi walau hanya sebatas bunga tidur. Setidaknya aku bisa bertemu dengannya disana, tidak peduli nyata atau tidak.


-----



“sudah kubilang jangan menungguku dan lupakan aku!” laki laki itu membentakku dengan keras

Air mataku jatuh tanpa kusadari, turun mengikuti gravitasi bumi.

“berhenti menangis, aku tak pantas mendapatkan semua pengorbanan yang telah kau lakukan ai” jawabnya lebih tenang

“aku tak pernah berkorban untukmu, aku bahkan tak tau mengapa takdir memilihmu untuk menjadi seseorang yang sangat berarti di kehidupanku” jawabku seraya air mata mengalir di pipi

Hangat. Nyaman. Tentram.

            5 menit yang sangat indah semasa hidupku.

            Dia memelukku.

“maaf bukan bermaksud lancang, aku hanya ingin menghentikan tangisanmu. Dengarkan aku, sebaiknya lupakan aku saja. Aku tak bisa menjadi pendamping hidupmu” jawabnya santai

“jika ragamu tak bisa menemani hari hariku. Apakah jiwamu bersedia melakukannya? Aku hanya ingin ada seseorang yang menemani hari hariku. Tak peduli dia nyata atau tidak. Aku hanya tak ingin sendiri di” lagi lagi air mata mengalir deras di pipiku

“aku akan berusaha sebaik mungkin untuk tetap menemanimu selamanya ai. Nah sekarang aku harus pergi. Kamu juga harus pergi kan untuk menemui seseorang yang sangat berarti di dalam hidupmu” tanyanya meyakinkan lalu pergi menuju awan



---



“ai bangun, ada azha” suara ibuku membuatku terjaga dari tidur yang indah itu

Ada apa azha kerumahku? Satu pertanyaan yang terlintas di pikiranku ketika mendengar nama azha.

“ai cepetan. Katanya mau ke tasik, azha udah dateng nih” lagi lagi suaranya yang nyaring terdengar di kamarku yg berada di loteng


Tasik?


Ardi?


Tanpa pikir panjang aku turun kebawah.

“ayo az berangkat sekarang” jawabku semangat

Azha, roffa dan ibuku saling bertatapan.

Untuk sejenak apa yang salah dari kata kataku? Bukankah sesuatu itu lebih baik jika disegerakan. Seperti tugas dan pernikahan. Jika kau sudah siap, apa yang kau tunggu lagi untuk menikah? Harta? Tak usah kau pikirkan, yang terpenting kau sudah punya pekerjaan tetap. Jika kau laki laki, segeralah datang kerumah perempuan yang kau idamkan dan temuilah orang tuanya. Itu arti sesungguhnya dari kata romantis dalam kamus hidupku, bukan memberikan bunga ataupun yang lainnya
.
Azha tak bisa menahan tawanya. Roffa pun sama. Hanya ibuku yang tersenyum.

“kok pada ketawa. Kenapa? Ada yang salah dari kalimatku?” tanyaku heran

“tidak ada yang salah ai dari kalimatmu. Tapi apa kamu yakin ingin pergi ke tasik dengan pakaian seperti itu?” tanya roffa seraya menahan tawa

Aku melihat kebawah dan yeah aku baru sadar alasan mereka tertawa. Aku masih memakai pakaian tidur. Malu rasanya, tapi kuharap mereka tak menyadari betapa excited nya diriku.

Aku hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk bersiap siap. Waktu yang lumayan singkat kan untuk seorang perempuan? Biasanya mereka membutuhkan waktu 30 menit lebih untuk mempercantik diri.

“nah gini dong rapi, ngga kaya tadi haha” suara azha terdengar ketika aku keluar dari kamar

“yuk ah berangkat sekarang ai” sekarang roffa yang bicara

Azha yang mengendarai mobil. Sedangkan roffa duduk disampingnya, dan aku duduk sendiri di belakang tak sabar ingin segera sampai.

Tak banyak yang kulakukan sepanjang perjalanan. Hanya tersemyum dan membayangkan apa yang akan aku lakukan ketika bertemu dengan “dia sekala semesta” ku. Ya dia setara dengan alam semesta ini. Mungkin banyak orang yang bilang aku sedikit berlebihan, baru bertemu selama kurang lebih satu minggu tetapi sudah menganggapnya setara dengan semesta. Aku pun tak tau alasannya tetapi dia benar benar setara dengan alam semesta yang tak terhingga ini.          

Langit tampak sangat cerah sama seperti perasaanku saat ini. Ahh terkadang langit memang bisa membaca perasaanku.

Tak terasa 5 jam berlalu dengan cepat. Entah apa yang membuat waktu berlari secepat itu. Tulisan “selamat datang di Tasikmalaya” terlihat jelas olehku. Tapi tiba tiba perasaan itu muncul kembali. Pikiran mengerikan itu mulai berkeliaran di benakku tak terkendali.

Aku takut dia telah melupakanku.
Aku takut dia menganggapku orang yang aneh.
Aku takut dia tak pernah mengingatku sama sekali.

Nyaliku tiba tiba menghilang begitu saja. Pertanyaan pertanyaan itu memaksa untuk dijawab. Aku tak mampu menahan semuanya. Terlalu mengerikan. Langit pun berubah menjadi gelap, seakan akan mengerti tentang ketakutanku. Goresan putih panjang berkilap terlihat melalui kaca jendela mobil. Selang beberapa detik kemudian suara gelegar itu terdengar kencang. Daun daun pepohonan menari nari mengikuti irama langit. Aku bisa merasakan betapa dahsyatnya angin diluar sana.

“ih aneh ya beberapa menit yang lalu langit cerah tetapi sekarang berubah menjadi menyeramkan” suara roffa memecahkan keheningan

“iya aneh sama kayak ai. Tadi senyum senyum mulu sekarang jadi murung” jawab azha

“ai lagi kenapa sih? Jangan jangan langit sama ai punya kekuatan batin. Bisa merasakan perasaan satu sama lain” tanya roffa penasaran

“ai gapapa kok. Ai mau tidur dulu ya” jawabku tak semangat

Roffa dan azha saling bertatapan bingung.


---


“kamu. Iya kamu. Kemari” suara itu terdengar dekat

Aku  menoleh kebelakang dan melihat sosoknya sedang berdiri tersenyum menawan. Ah laki laki itu lagi. Tanpa berpikir lama aku segera menghampirinya. 5 menit. 20 menit. 45 menit. 1 jam. Aku tak bisa mendekatinya, seolah olah semakin aku mendekat ia semakin menjauh.

“apa yang sedang terjadi? Saat aku mendekat mengapa kau semakin menjauh?” tanyaku penasaran.

“ada jarak yang memisahkan kita” jawabnya seraya menunjuk jarak diantara aku dan dia.

“mengapa? Bukankah dekat lebih memberikan kenyamanan?” pertanyaanku semakin serius.

“karna Allah telah ciptakan rindu, untuk mengisi ruang itu. Walaupun terpisah lebih dari 1.000 mile, tak ada yang lebih dekat melebihi dua hati yang saling mendoakan meskipun disekat samudra dan benua” jawabnya santai

Aku merasakan air mata mengalir di pipiku. Belum pernah ada laki laki yang mengatakan hal seperti itu kepadaku.

Walaupun ada jarak yang membentang diantara aku dan dia, tapi aku masih mampu melihat dengan jelas senyumannya yang menyejukan hati. Membawa kedamaian tiada tara.

“hey hentikan tangisanmu. Bangunlah sekarang. Sudah saatnya semesta menepati janjinya”


Semesta? Janji apa yang dia maksud?


To be continued